Sering kali kita menemukan dan melihat pesan tersebut (atau yang sejenis), baik di rumah dengan melalui media elektronik berupa televisi, ataupun di jalan-jalan yang biasa kita lewati melalui media reklame. Pesan tersebut mudah kita temukan dan terlihat di mana-mana. Ya, sebagaimana yang kita ketahui pesan tersebut merupakan bentuk pemasaran (iklan) yang dibuat oleh salah satu merek dari produk rokok terkenal, A MILD. Redaksi pesan tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak pesan yang disampaikan oleh A MILD. Sebut saja yang lainnya, “Jalan Pintas Dianggap Pantas”, “Gali Lubang Tutup Lupa”, “Kalo Masih Banyak Celah Kenapa Harus Nyerah”, “Terus Terang, Terang Ga Bisa Terus-terusan”, “Mau Pintar Ko’ Mahal?”, “Susah Ngeliat Orang Seneng, Seneng Ngeliat Orang Susah” atau pesan berbau religius ketika di bulan Ramadhan, seperti “Ngobrol Jangan Cuma Setahun Sekali!” atau “Malu Sama Yang di Atas!” yang semua itu diakhiri dengan kalimat, “Tanya Kenapa?”
Jika kita baca, resapi dan pahami, pesan-pesan tersebut merupakan bentuk kritik moral terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah atau pun kepada sikap kita sehari-hari. Pesan-pesan yang ringan, santai dan tidak menggurui tetapi memiliki makna yang tajam dan mendalam. Tajam karena bersifat menggugat sesuatu yang umumnya biasa terjadi atau sering dilakukan tetapi justru merupakan sikap yang harus dirubah. Mendalam karena sangat menyadarkan kita, dan dengan perkataan akhir “Tanya Kenapa(?)”, menjadikan diri kita berintropeksi dan tergerak.
Sebagaimana yang kita ketahui juga bahwa, kini perusahaan rokok semakin dibatasi kesempatannya dalam memasarkan/ mengiklankan produknya, baik itu dalam hal ruang pemasaran maupun dalam hal waktu pemasaran. Perusahaan rokok dilarang memasarkan produknya serta tidak boleh menjadi sponsor kegiatan pada (umumnya) institusi pendidikan. Dalam memasarkan/ mengiklankan pun perusahaan rokok tidak boleh menampilkan wujud rokok serta aktivitas merokok baik itu dalam visualisasi berupa gambar atau film pada media televisi, internet dan reklame ataupun suara pada media radio. Waktu pemasaran pun dibatasi, yaitu di atas jam setengah sepuluh malam sampai jam lima pagi, dengan asumsi anak-anak pada waktu tersebut tidak menggunakan media elektronik yang informatif (Peraturan Pemerintah No.38 Th.2000). Dan rokok pun dalam pemasarannya “wajib” menyertakan peringatan pemerintah bahwa merokok dapat merusak kesehatan.
Kebijakan tersebut (termasuk kebijakan pengontrolan perokok dan asap rokok dengan menyediakan smoking room khususnya di kota Jakarta) ada karena secara mendasar orang tahu bahwa rokok merupakan produk yang merusak kesehatan. Bahan yang ada pada rokok (banyak) merupakan racun yang tentu saja tidak baik dikonsumsi/ dihisap, dalam hal ini rokok merusak kesehatan dan berbahaya bagi keselamatan jiwa si penghisap. Saat merokok, orang menghisap kurang lebih 4000 bahan kimia dengan tiga komponen utama, yaitu: nikotin yang menyebabkan ketergantungan/ adiksi, tar (benzo-a-piren, piren) yang bersifat karsinogenik dan karbon monoksida yang afinitasnya sangat kuat terhadap hemoglobin sehingga kadar oksigen dalam darah (terutama bagi perokok pasif) berkurang -sumber: Health Departement of Western Australia dari Lembaga M3 (Menanggulangi Masalah Merokok). Jika hal tersebut terakumulasi akan menimbulkan penyakit kanker, impotent, atau merusak jantung, paru-paru, janin, kandungan dan lainnya –Peringatan Pemerintah, tertera pada kemasan dan penyampaian iklan rokok. Dari hal-hal tersebut kita (termasuk perokok aktif) sepakat bahwa rokok merupakan produk yang merusak kesehatan. Produk yang membahayakan keselamatan jiwa. Rokok bersifat mematikan.
Dengan ter(dan di)sosialisasikannya pengetahuan atau informasi itu oleh para pakar, praktisi, dan aktivis kesehatan (atau yang lainnya) pada khalayak umum baik itu melalui media elektronik dan cetak maupun melalui kegiatan seminar, diskusi dan kampanye, serta dengan adanya kebijakan pemerintah yang membatasi pemasaran/ iklan rokok, tidak membuat perusahaan rokok dengan tim kreatif dan marketingnya “kehilangan akal”. Di saat perusahaan lain (selain perusahaan rokok) memasarkan produknya dengan cara mengatakan dan menampilkan keunggulan-keunggulan produknya ditambah dengan slogan-slogan seperti “propaganda konsumtif”, rokok yang sebelumnya juga dianggap sebagai “teman” kesendirian, kecemasan, kepusingan dan stress (candu), kini hadir sebagai “teman” yang senantiasa menyapa kita dengan pesan-pesan yang mencerahkan, bermakna, berguna dan bermanfaat.
Selain pesan-pesan moral berupa kritik yang disampaikan oleh produk rokok merek A MILD dari SAMPOERNA GROUP, merek-merek lain pun tidak mau kalah friendly-nya. Sebut saja pesan, “Apa Obsesimu?” disertai dengan slogan “Bikin Hidup Lebih Hidup” dari merek STAR MILD, “U are U !” (baca: kamu adalah kamu) dari merek U MILD, “X-presikan Aksimu!” dari merek X MILD, dan yang lainnya, merupakan pesan-pesan hidup yang juga mencerahkan, bermakna, berguna dan bermanfaat.
Rokok dengan image sebagai “teman” pun hadir di saat teman-teman kita (yang memang kita anggap sebagai teman sepermainan) lengkap dengan pergaulannya, lebih banyak membicarakan dan melakukan kegiatan yang tidak bermakna, tidak berguna dan tidak bermanfaat serta jauh dari mencerahkan. Kegiatan-kegiatan yang konsumtif, tidak produktif dan bersifat hura-hura (hedonis). Rokok hadir sebagai “teman” dengan pesan dan nasehat di saat kebanyakan dari teman-teman kita tidak melakukannya. Rokok juga hadir sebagai “teman” di saat peran dan fungsi orangtua sebagai “teman” terdekat semakin berkurang karena berbagai macam kesibukannya.
Ya, rokok tampil sebagai “teman” dengan begitu percaya diri di saat banyak dari kita sulit atau tidak bisa melakukannya. Padahal, pesan-pesan dari masing-masing merek rokok tersebut disampaikan atas dasar agar rokok tetap bisa diterima oleh khalayak umum (begitu juga dengan banyaknya beasiswa yang tersedia di institusi pendidikan dari perusahaan-perusahaan rokok). Agar kita permisif/ mentolerir rokok yang bersifat merusak kesehatan dan mematikan. Agar kita bimbang terhadap mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk. Agar rokok bisa dianggap oleh kita sebagai “teman”. Hal ini membuat kita “lupa”, bahwa pesan-pesan tersebut tidak lebih dari strategi dalam memasarkan produk yang dibuat dan disebarkan oleh perusahaan rokok agar produknya tetap dan lebih laku dijual serta diterima di pasar dan dikonsumsi.
Jadi benar jika ada yang mengatakan, “marketing adalah bagaimana cara kita menjual sate babi di kampung Arab (dan laku)!”. Babi mungkin bisa enak, mengenyangkan dan laku dijual, tetapi tetap saja babi haram dikonsumsi (salah satunya karena merusak kesehatan) bagi orang Arab (baca: Islam). Begitu juga dengan rokok yang mungkin bisa menjadi “teman”, TTM,.tetapi bukan “teman tapi mesra” sebagaimana lagu yang dinyanyikan grup musik Ratu. Rokok adalah “teman” yang membahayakan kesehatan dan jiwa kita. Rokok, “teman” tapi mematikan.